Selasa, 28 April 2009

My Own Diary

Kamis, 7 April 2009
22:36 WIB

Hari terakhir kuliah di minggu ini, masuk 2 hari, sisanya libur. Minggu lalu, masuk 2 hari sisanya meliburkan diri.
Sungguh waktu terasa singkat…

Jakarta, Salatiga, Solo, Jakarta, Lampung, Jakarta…
Huff sungguh melelahkan, namun tak apa.
Dengan begini otakku tak terasa membeku, membeku oleh peluh dan perih.
Banyak yang dipertaruhkan untuk aku dapat menjalani aktivitasku belakangan ini.
Kuliah sedikit terbengkalai, padahal masih diawal semester.
Kepengurusan komunitaspun sama sekali tak tersentuh.

Kini, tak lagi hatiku terbagi untuk dua HAL,
Namun banyak hal, dan itu sama sekali bukan merupakan sesuatu yang sia-sia.
Ok, sekarang kita review kegiatanku belakangan ini.

16 Maret 2009
Saat Fajar menyingsing, roda mobil kami terhenti pada kota mungil, Salatiga, Semarang. Hingga salamku menggema pada sebuah rumah asri, yang sungguh sederhana. Kediaman Bulik Wati dan Paklik Purwanto. Hawa dingin meresap hingga ke pori-pori kulitku, dinginnya AC mobil yang membelenggu kami sepanjang malam, sepanjang perjalanan, terkalahkan oleh suhu udara ciptaan Sang KHALIK.

Tak banyak yang kulakukan saat itu, selain aktivitas pagi hari semisal sarapan, dll. Sesaat setelah berbenah diri, aku mencoba mengabari orang-orang yang menurutku PENTING untuk dikabari tentang keberadaanku disana. Bahwa kami besrta rombongan telah sampai ditempat tujuan tanpa kekurangan suatu apapun. Suasana hatiku tak begitu riang kala itu, namun aku tetap terus, terus, dan terus mencari ‘sesuatu’ agar keriangan dapat menyapaku pada hari indah itu. Hari dimana, Allah masih dapat mengabulkan doaku untuk dapat memiliki kesempatan berkumpul dengan Bibi, Paman dan saudara sepupu.

Sore harinya aku berencana langsung menghampiri istana mungil nenekku, dikota yang sama namun di desa yang berbeda. Namun karena tak ada yang dapat mengantarku kesana, akhirnya niatan itu kami tunda hingga keesokan paginya. Malam dingin itu, tak lagi terasa dingin, karena hatiku yang telah membiru, membeku karena perih yang timbul dari luka parah dalam batinku. Seluruh emosi kutumpahkan (seperti biasa) dalam tulisan, untungnya aku membawa teman yang pendiam, tak hidup namun ia menjadi sosok yang sungguh dapat diandalkan. Air mata berusaha menyentuh papan keyboardnya, namun tak kuizinkan. Tangisku pecah dalam batin, air mataku bercucuran dalam sunyi. BODOHNYA aku telah kehilangan separuh hati yang kuberikan tulus kepada seseorang yang bisa dibilang sangat jahat. Walau aku tetap dapat memaafkannya dengan tulus.


17 Maret 2009
Sungguh hari yang melelakhkan kulewati beberapa waktu kebelakang. Hingga dalam malamku, tak lagi tidur pulas dapat menjadi agenda. Duniaku terbalik sejak beberapa waktu. Malam menjadi pagi, pagi menjadi malam. Jam tidurku telah berlangsung tidak normal sejak beberap waktu. Menjelang fajar menyingsing, aku baru dapat terlelap. Dan ketika banyak orang memulai aktivitasnya, aku masih terlelap. Kupaksa untuk bangun pagi itu, dengan semangat menggebu ingin bertemu nenek yang sangat kurindu.

Lewat dari jam 10.00 WIB aku mulai perjalanan menuju desa Banjaran cengklik, desa dimana kedua orng tua dari ayahku menetap untuk menghabiskan masa tuanya. Dimana bertengger rumah mungil disatu petak tanah yang dikelilingi tanaman obat maupun bunga-bunga bermekaran dengan lebatnya mengelilingi bangunan mungil berupa gubuk, yang tak pernah bosan aku berada disana. Disana bisa dibilang stabil, saatnya sang fajar berpijar sungguh benderang alam semesta, kala rembulan tersenyum sungguh indah cahayanya membawa nuansa dingin yang sejuk, walau terkadang agak menusuk. Setibanya disana, aku melihat suatu nuansa baru.

Rumah bata, gubuk reot yang nyaman kini berubah bentuk menjadi rumah bata dengan tembok-tembok yang dingin, namun tak menghilangkan nuansa sederhana dari bangunan yang menopang kehidupan kakek dan nenek tercinta. Istana mungilku kini terasa agak lengang, sunyi terasa. Ternyata memang tak ada penghuninya, hehehe ^^v mbah uti biasa kupanggil ibunda dari ayahku itu. Salam menggema di desa asri itu. Sepanjang jalan, sungguh jarang aku melihat kaum adam melakukan aktivitas disekeliling desa tersebut. Koknon ceritnya, para kaum adam, tua maupun muda banyak yang keluar desa bahkan pulau untuk mengadu nasib disana.

Dari ruang lingkup yang dekat saja misalnya, paman dan kakak-kakak sepupuku yang laki-laki, tak pernah dapat kutemui bila sejang berkunjung kesana. Karena saat aku liburan semester, mereka masih banyak tanggung jawab pekerjaan diperantauannya masing-masing. Saat mereka dapat pulang (saat Hari Raya), aku tak pernah dapat berkunjung kesana, karena saat Hari Raya aku merayakannya dengan keluarga inti, Ayah, Bunda dan adik-adik di Jakarta. Dan karena kemajemukan etnis kebudayaan yang mengalir dalam darahku, ayah & bunda sepakat untuk merayakan Hari Raya di tempat dimana kami tinggal, yah… di Jakarta. Cukup adil, jadi tidak mudik ke Lampung, Palembang, atau Semarang, ataupun ke Lamongan… can u imagine? Sungguh majemuk kan??? Hehehehe ^^v

Sesampainya disana, aku sungguh merasakan kesenyapan yang sungguh damai. Ternyata mbah uti memang sedang tidak berada dirumah, sayup-sayup kami dengar ada suara ceramah dari pak Haji sekitar situ, yang ternyata sedang diadakan pengajian disana. Saat aku berusaha mencari sosok nenek tercinta dari sela-sela agar masjid, paklik Pur memanggil. Ternyata pintu belakang tidak terkunci dan beliau dapat membuka pintu ruang tamu. Tak lama setelah aku selesai menata barang-barang bawaanku, terdengan salam dari suara mungil namun dapat menggelegarkan hati dan telingaku. Dengan langkahnya yang gontai mbah uti memasuki pintu utama. Sesaat itu pula kumenghampirinya. Dalam sekejap pula aku telah berada dalam dekap hangat peluknya.

CAHAYA HATI

Seakan aku takut menyapa rembulan,

Cahaya rembulan yang membelaiku dalam mimpi


Sejak aku mengenalnya malam itu,

Seakan cahayanya menghangatkan jiwa dan ragaku


Hingga cahaya itu pergi,

Aku tak lagi dapat meniti mimpi


Dalam lelapku,

Hanya ada dirinya ditiap malam dingin itu


Tuhan, apakah ini cinta?

Tuhan, apakah artinya cinta?

Tuhan, sungguh aku tak rela ia berlalu begitu saja…


Tiap saat kuterlelap, hanya bayangnya yang cambangiku dalam mimpi

Hanya dia, entah mengapa…


Cinta…

Dimanakah engkau,

Rindukah adanya disana,

Atau semua ini hanya sekedar fatamorgana?

SPECIAL PERSON title, is YOURS

Suatu malam aku bermimpi, aku menjalani hidup yang _bener-bener enggak banget deh!_ aku jadi pedagang ikan disuatu wilayah kumuh. Yang kehidupan disana benar-benar BERAT adanya, akupun memulainya dengan sungkan, sungguh tak terbayangkan hidup seperti itu. Melihat dan bercengkrama dengan anak-anak Sabana Kebun Tebu saja sudah menguras batinku, sungguh miris ada orang yang dapat hidup di wilayah yang sungguh tidak layak. Bahkan asupan oksigen mereka saja tidaklah layak untuk sirkulasi hidup sehat.

Didalam mimpiku juga aku beserta keluarga, aku dan mama menggelar dagangan di sebuah jembatan seadanya yang terbentang diatas aliran air yang sungguh kumuh. Segala jenis sampah dan bangkai ikan ada disana, tak terbayangkan lagi kadar amoniak’nya. Hingga suatu ketika aku dan beberapa pedagang harus mengalami kecelakaan yang dikarenakan jembatan tersebut roboh, aku dan dua orang temanku terjatuh dari sana dan nyaris tenggelam ke dalam air RACUN tersebut.

Pada awalnya aku berpegangan dengan salah satu temanku yang sempat berpegangan pada badan jembatan yang masih menggantung kokoh sedang temanku yang satunya berpegangan pank pada lengan kananku. Aku berusaha sangat keras untuk menenagkannya, karena bila ia terus panik dan banyak bergerak, ia bukan hanya membahayakan keselamatannya, namun nyawaku dan temanku yang satunya lagi pula berada dalam genggemannya. Bila ia terus berayun panik, bukan tidak mungkin temanku yang berpegangan pada sisi jembatan yang masih utuh pula akan kehilangan keseimbangannya dan melepaskan pegangannya tersebut. Dan kami bertiga tak akan lagi tertolong, walaupun masing-masing dari kami bias berenang, namun kandungan racun dalam air tersebut sangat berbahaya untuk kelangsungan hidup manusia.
Aromanya saja mampu menghancurkan metabolisme tubuh kami perlahan-lahan. Bila kami bersentuhan dengan permukaan air tersebut, kami akan mengalami penyakit kulit yang kronis. Apalagi bila air tersebut sampai masuk ke saluran pernafasan ataupun mulut kami, tak terbayang apa yang akan terjadi pada tubuh kaku kami kelak.

Sungguh mimpi yang menyeramkan, tak terbayang, mengapa aku dapat mengalami mimpi yang sedemikian menakutkannya? Namu dalam ending ceritanya aku disana menjadi pahlawan. Dengan kegigihan dan KEYAKINAN yang kuat bahwa AKU TIDAK INGIN MATI KONYOL disini, dan kemauan untuk HIDUP yang sangat tinggi. Pada akhirnya keselamatan aku dan teman-temanku berada ditanganku dan aku yang sungguh dengan lembut berhasil menyemangati teman-temanku untuk tetap berkeyakinan kita akan hidup 1000 tahun lagi, bukan mati saat ini, dan dengan cara yang sungguh tragis seperti ini.

So, hikmah yang aku ambil, kembali lagi aku diberi teguran oleh Allah s.w.t. bahwa dunia ini terus berputar, janganlah sombong dan terlena oleh apa yang saat ini kita punya. Karena semua bukanlah milik kita seutuhnya, itu hanyalah titipan. Akupun bertambah yakin, bahwa aku TIDAK PATUT terpuruk atas kesedihan yang aku alami. Aku harus TEGAR seTEGAR BATU KARANG, masih banyak orang lain yang membutuhkan aku dan AKU memang BERHARGA bagi orang lain. Dan dalam mimpiku semalam, aku BERHASIL menyelamatkan 2 nyawa lain, dalam genggaman dan keyakinan serta keteguhan jiwa yang aku miliki.

So, I’M SPECIAL, you are SPECIAL, n’ EVERYONE SPECIAL. Asal kita yakin bahwa diri kita ini SPECIAL!!!
Semangat!!!!!!! ^^v